Pages

Labels

Thursday, June 19, 2014

Saatnya OIG Reviu Program Compact Indonesia




Setelah setahun berselang pasca Entry Into Force, Program Compact Indonesia mendapat perhatian khusus dari Office of Inspectorate General (OIG). Tiga orang Tim OIG mengunjungi Indonesia untuk mereviu pelaksanaan program yang telah dijalankan MCA-Indonesia. Secara spesifik, OIG ingin mengetahui apakah MCA-Indonesia telah membangun sistem kontrol untuk meminimalisir resiko, mengantisipasi penyalahgunaan dana Hibah Compact. Di samping itu, OIG juga ingin mengetahui apakah MCA-Indonesia dan MCC telah mengidentifikasi resiko utama yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan Program Compact.

Dalam kunjungan yang berlangsung dari tanggal 12 – 27 Juni 2014 di Indonesia, OIG akan disibukkan dengan serangkaian reviu prosedur, tekait dengan pelaksanaan pengelolaan keuangan dan performa program. Kegiatan yang akan dilakukan berupa wawancara, observasi, pengujian pada sampel transaksi dan pencatatan. Khususnya, OIG akan mereviu kegiatan yang telah dilakukan MCA-Indonesia seperti proses pembebasan pajak, penggunaan Compact Implementation Funding (CIF) dan 609(g), rencana dan proses pengadaan, pelatihan IPA, rangkuman rencana keuangan tahun jamak, asesmen pada struktur kontrol internal dan secara keseluruhan perkembangan Program Compact. Tim OIG juga akan melakukan kunjungan ke beberapa daerah yang menjadi lokasi pelaksanaan proyek di Nusa Tenggara Barat. 

Untuk mengetahui perkembangan Program Compact dari sisi Pemerintah Indonesia, Tim OIG berdiskusi dengan Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas selaku Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) MCA-Indonesia, Lukita D. Tuwo didampingi oleh Deputi Pendanaan Pembangunan Bappenas selaku Sekretaris MWA MCA-Indonesia, Wismana Adi Suryabrata, Inspektur Utama Bappenas, Slamet Soedarsono, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengelola Hibah MCC, Hari Kristijo serta Direktur Eksekutif MCA-Indonesia, JW Saputro dan Compliance Specialist MCA-Indonesia, Rini Widiastuti. Diskusi berlangsung hangat di Ruang Kerja Wakil Menteri PPN/Bappenas, Rabu (18/06/2014). Dalam diskusi tersebut, Lukita menjelaskan bahwa Hibah Compact MCC merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia di bawah payung comprehensive partnership. Program Compact yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan program yang diterapkan di negara penerima Hibah Compact lainnya. Program Compact di Indonesia terdiri dari Proyek Kemakmuran Hijau (Green Prosperity Project-GP), Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Anak Pendek (Community Based Health and Nutrition to Reduce Stunting Project) dan Proyek Modernisasi Pengadaan (Procurement Modernization Project). “Tantangan terbesar dalam pelaksanaan Program Compact di Indonesia masih pada Proyek GP” kata Lukita. Proyek GP rencananya akan diluncurkan pada  Juli 2014. 

Program Compact di Indonesia memang unik. Dari sisi pelaporan, ada dua sistem yang dilakukan. Sistem pelaporan pertama adalah pelaporan yang dilakukan MCA-Indonesia sebagai Unit Pelaksana Program (UPP) kepada MCC mewakili Pemerintah Amerika Serikat dan sistem pelaporan kedua adalah pelaporan yang dilakukan Satuan Kerja Pengelola Hibah MCC kepada Bappenas mewakili Pemerintah Indonesia. Untuk itu, MCA-Indonesia bergegas menyiapkan semua perangkat yang mendukung lancarnya pelaksanaan program, termasuk dari sisi pelaporan. “Saat ini sedang direviu resiko pelaksanaan Hibah MCC beserta mitigasinya” ujar Slamet. Manajemen resiko sudah ditelaah lebih dalam untuk identifikasi resiko terutama pada level proyek, seperti resiko keterlambatan penyerapan, resiko pencapaian kualitas program, resiko keberlanjutan dan juga resiko terkait pelaksanaan kerja yang meliputi adanya beban logistik yang cukup besar dalam pelaksanaan aktivitas, resiko mengenai disbursement of cash advance ke lokasi proyek terdalam.

Bila dilihat dari struktur organisasi yang dikembangkan untuk MCA-Indonesia, akan terlihat peran dari masing-masing unit kerja. MCA-Indonesia didukung oleh Tim Implementasi yang terdiri dari UPP dan Unit Pendukung Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). UPP berperan untuk melaksanakan kegiatan operasional Program Compact sedangkan Unit Pendukung Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) bersifat mendukung pelaksanaan program dari sisi pemerintah, dimana operasional kesehariannya dilakukan oleh Satuan Kerja Pengelola Hibah MCC.


Satker Pengelola Hibah MCC mulai bekerja sejak Grant Agreement Program Compact ditandatangani tanggal 19 November 2011. Pada tahap itu, Satker Pengelola Hibah MCC berperan menyiapkan semua dokumen dan kelengkapan organisasi yang tertera dalam Grant Agreement hingga pada masa Entry Into Force tanggal 2 April 2013, seperti Project Implementation Agreement (PIA), peraturan pembentukan Majelis Wali Amanat, Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah MCC (No. 124/PMK.05/2012), Surat Keputusan KPA tentang pembagian tugas antara PPK dan Direktur Eksekutif, pembuatan logo, pemilihan Fiscal Agent, Procurement Agent dan Recruitment Agent serta pemilihan 11 staf utama. Setelah memasuki masa Entry Into Force, Satker Pengelola Hibah MCC lebih banyak melakukan pekerjaan yang mendukung kelancaran program seperti mendukung kegiatan Majelis Wali Amanat, mencatat penerimaan dan penggunaan Hibah MCC, pengembalian pajak, menandatangani kontrak bersama Direktur Eksekutif terkait operasional program dan pembiayaan untuk semua kegiatan Satker Pengelola Hibah MCC dengan menggunakan dana APBN. Fase perkembangan Program Compact dapat digambarkan dalam alur seperti bagan di bawah ini. (LM/AS/RA)



Tuesday, June 10, 2014

MCA-I Gelar Workshop Perpajakan untuk Susun SOP




Setelah lama bergelut dengan urusan perpajakan, MCA-Indonesia akhirnya menggelar diskusi dengan mengundang narasumber dari Direktorat Peraturan Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Diskusi dengan tema Workshop Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan diselenggarakan pada tanggal 3-6 Juni 2014 di Kantor MCA-Indonesia, Jakarta. Hasil workshop ini akan digunakan sebagai bahan untuk menyusun Standard Operation Procedure (SOP) Mekanisme Penggantian Pajak Program Compact. SOP ini sangat dibutuhkan untuk meluruskan proses penggantian pajak dalam setiap transaksi dalam pelaksanaan Program Compact. Selain itu, SOP ini sangat diperlukan untuk memastikan semua pihak yang terlibat dalam proses fasilitas perpajakan dan kepabeanan dapat melaksanakan tugasnya lebih efisien dan efektif.

Dalam pelaksanaan Program Compact yang berasal dari dana hibah Pemerintah Amerika Serikat, urusan perpajakan sebenarnya telah diatur Pemerintah Indonesia dengan memberikan fasilitas di bidang pajak dan/atau kepabeanan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1995 perihal Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001. Mekanisme pelaksanaannya diperjelas dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 239/KMK.01/1996 perihal Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 486/KMK.04/2000.

Aturan yang berlaku umum untuk seluruh proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri tersebut mencakup pajak pertambahan nilai tidak dipungut, pajak penjualan barang mewah tidak dipungut, pembebasan bea masuk dan bea masuk tambahan, dan pajak penghasilan ditanggung pemerintah. Pihak yang mendapat fasilitas adalah kontraktor utama, yaitu pihak yang berdasarkan kontrak secara langsung melaksanakan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri.

Mengingat bahwa sumber dana hibah Program Compact berasal dari para pembayar pajak di Amerika Serikat, pihak MCC meminta tambahan fasilitas di bidang pajak dan/atau kepabeanan yang mencakup sampai ke lapisan kedua (sub-kontraktor). Memenuhi hal tersebut, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 124/PMK.05/2012 tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah Millenium Challenge Corporation yang salah satunya mengatur tentang mekanisme penggantian pajak untuk kegiatan yang dibiayai dengan Hibah MCC.

Fasilitas penggantian pajak tersebut dapat diberikan hanya jika pihak yang terlibat dalam kegiatan yang dibiayai Hibah MCC tidak mendapatkan fasilitas di bidang pajak dan/atau kepabeanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penggantian pajak dapat dilakukan jika memenuhi syarat dan kondisi sebagaimana diuraikan dalam Program Implementation Agreement (PIA) dan PMK No. 124/PMK.05/2012. Untuk itu, MCA-Indonesia harus menguasai fasilitas pajak dan kepabeanan untuk dana hibah sesuai dengan PP No. 42 Tahun 1995. Jika ada pihak yang seharusnya mendapat fasilitas pajak dan/atau kepabeanan tetapi kemudian melakukan kewajiban pembayaran pajak dan/atau kepabeanan, maka tidak dapat diberikan penggantian pajak (reimbursment). Akan tetapi pihak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan pengembalian pajak atau restitusi ke Kantor Pelayanan Pajak.

Sebelum melaksanakan proses penggantian pajak, hal yang terpenting dilakukan adalah mengidentifikasi pihak yang terlibat dalam kegiatan yang dibiayai Hibah MCC, jenis kewajiban pajak yang terutang, dan jenis fasilitas yang diperoleh oleh masing-masing pihak. Hal tersebut harus dilakukan untuk menghindari kesalahan penerapan fasilitas di bidang pajak dan/atau kepabenan yang dapat menimbulkan kerugian negara dan memperjelas pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian negara akibat pemberian penggantian pajak dan/atau kepabeanan. Verifikasi juga perlu untuk memastikan pihak yang benar-benar berhak menerima penggantian pajak dan kewajiban pajak tersebut telah di setor pada Kas Negara. Pada hakekatnya, proses verifikasi dilakukan untuk menjalankan amanah PMK No.124/PMK.05/2012 pada Pasal 23.

Dalam kaitan pada proses penggantian pajak untuk orang pribadi yang berstatus Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), penentuan kebijakan yang diterapkan dalam sistem manajemen perpajakan MCA-Indonesia harus sangat jelas. Hal ini untuk memudahkan dalam proses penggantian pajak yang kelak akan diajukan. Tidak semua tenaga kerja asing yang bekerja untuk MCA-Indonesia merupakan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Ini tergantung dari jangka waktu keberadaannya di Indonesia dan niatnya untuk berada di Indonesia. Jika pada saat mulai bekerja pada kegiatan yang dibiayai Hibah MCC, tenaga kerja asing tersebut dikategorikan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), maka yang bersangkutan tidak berhak mendapat penggantian pajak penghasilan. Oleh karena yang menjadi permasalahan bukan pada proses pengajuan penggantian pajak, tetapi pada identifikasi dan penetapan status pajaknya, apakah sebagai SPLN atau SPDN. (AN/RA)

Monday, June 9, 2014

Tinjau Industri Kecil Pengolahan Nenas, MWA Ingin Berdayakan Potensi Rakyat



Geliat Proyek Kemakmuran Hijau kini telah menjalar ke banyak daerah di Indonesia. Salah satu lokasi yang menjadi lokasi proyek adalah Kabupaten Muaro Jambi yang menjadi kabupaten starter. Di Kabupaten Muaro Jambi ternyata banyak menyimpan potensi alam yang dapat dikembangkan menjadi industri kecil yang sangat berdaya menggerakkan perekomonian rakyat. Perkebunan nenas yang cukup banyak dikelola rakyat tak nyana menjadi sumber pendapatan yang cukup bernilai. Perkebunan nenas ini berlokasi di Desa Tangkit Baru, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, dikelola oleh masyarakat pendatang asal Sulawesi Selatan yang telah turun temurun menempati daerah tersebut.

Dalam kunjungan kerja ke Provinsi Jambi, Rabu (04/06/2014) Anggota Majelis Wali Amanat MCA-Indonesi yaitu Mangara Tambunan, Zumrotin K. Soesilo dan Tini Hadad melihat langsung proses pembuatan dodol yang berbahan baku nenas. Proses pengerjaan dilakukan oleh tenaga kerja perempuan dari usia yang berbeda. Industri pembuatan makanan khas daerah yang unik ini menjadi sentra usaha bagi banyak rumah tangga. Tak hanya dodol, buah nenas diolah secara kreatif menjadi makanan kecil yang unik seperti nanas selai goreng, bolu selai nenas dan keripik nenas. Industri kecil ini mulai dikembangkan tahun 2011. Bersumber dari satu kepala keluarga, hingga kini usaha ini menjadi pendapatan banyak rumah tangga penduduk Desa Tangkit Baru. Hasil produksinya tidak hanya memenuhi konsumsi daerah lokal, tapi sudah merambah ke Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara hingga Saudi Arabia. Campur tangan Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi tak lepas dalam segi pemasarannya. Pemerintah daerah memfasilitasi pemasaran dan promosi dalam acara pameran seperti yang dilakukan pada Pekan Nasional di Malang, Jawa Timur minggu ini. Kini, panganan khas daerah ini dapat dijumpai di toko, pasar modern hingga bandara. Melihat potensi ini, Zumrotin mengusulkan agar panganan khas yang unik ini menjadi souvenir bagi turis domestik dan mancanegara yang disediakan secara gratis di hotel dan penginapan. Cara ini dinilai ampuh sebagai promosi untuk menarik minat wisatawan untuk membeli sebagai buah tangan kembali ke daerahnya masing-masing. 

Selain perkebunan nenas, mata pencarian rakyat yang sangat menguntungkan berasal dari sektor perikanan. Terdapat sedikitnya 40 kelompok pembudidaya khususnya ikan lele di desa ini. Satu kelompok terdiri atas 12 orang anggota yang semuanya mengelola tambak ikan lele. Kelompok perikanan ini mulai dibentuk pada awal tahun 2013 atas dasar Surat Keputusan Camat. “Dulunya banyak yang berbudidaya ikan patin tahun 2009, tapi kini telah beralih ke ikan lele karena penjualan ikan patin terpuruk ” kata Baso Intang, Ketua Kelompok Pembudidaya Majiwa. Kelompok perikanan dibentuk atas semangat masyarakat untuk mengurangi persaingan antara pedagang dan tengkulak. Persaingan ini berimbas pada harga jual lele di pasar yang tidak stabil dan sangat merugikan pemilik kolam. Dengan adanya kelompok perikanan, masyarakat menjadi sangat terbantu dari sisi pemasaran. Selain itu, kelompok perikanan ini menjadi media komunikasi dan informasi terkait pembudidayaan lele.

Ditanya seputar kendala yang dihadapi, Baso Intang menjelaskan kebutuhan ikan lele masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lele di Kabupaten Muaro Jambi. Debit air yang kurang besar menyebabkan pertumbuhan lele menjadi terhambat. Pemilik kolam sangat jarang memiliki mesin pompa yang dapat mengalirkan air sungai ke kolamnya. Masyarakat melakukan budidaya lele mulai dari proses pendederan hingga pembesaran. Dalam satu bulan, kelompok budidaya lele dapat memanen sebanyak 15 ton. Harga yang dijual kepada distributor berkisar Rp 17.000/kg. Anggota kelompok dapat menikmati keuntungan hingga 20%-25% per transaksi. Suatu bentuk usaha yang menggerakkan perekonomian masyarakat.

Kelak, Program Compact MCC akan menciptakan multiplier effect semacam ini dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masayarakat. Pola Industri kecil yang dikembangkan masyarakat di Desa Tangkit Baru, merupakan salah satu contoh usaha yang telah beranjak maju dan dapat menjadi role model atau “tutor” untuk usaha integrasi sejenis di daerah pengembangan. Dengan mengusung sebuah kerjasama dalam kongsi perdagangan dan transfer teknologi sederhana, bentuk kooperatif semacam ini sangat layak untuk dikembangkan di daerah implementasi Proyek Kemakmuran Hijau ke depan. Usaha yang dikembangkan juga merupakan sebuah perluasan dari bidang manajemen sumber daya alam untuk tetap menghasilkan kegiatan ekonomi secara ramah lingkungan. (LM/MA)


Dubes AS Tinjau Contoh Lokasi Pengolahan POME




Pemanfaatan Palm Oil Mill Effluent (POME) menjadi satu perhatian khusus dalam pengembangan Proyek Kemakmuran Hijau. Duta Besar Amerika Serikat (AS), Robert O. Blake, Jr dalam lawatannya ke Provinsi Jambi, mengunjungi Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Rabu (04/06/2014). PT. Biccon Agro Makmur menjadi PKS yang dikunjungi Dubes AS terletak persis di Desa Sungai Gelam dengan jarak tempuh 2 jam perjalanan dari Kota Jambi. 

POME adalah limbah cair hasil pengolahan kelapa sawit. Meski tidak beracun, limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana pencemaran bagi lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Limbah cair tersebut diolah di kolam terbuka dan dengan proses biologis, kolam POME akan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas lainnya yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca. Melihat kondisi ini, Proyek Kemakmuran Hijau berencana memanfaatkannya untuk menghasilkan pasokan listrik yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat. Tingginya kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dalam limbah cair kelapa sawit memberikan potensi produksi gas metana yang akan bermanfaat untuk konversi listrik dengan melalui serangkaian tahapan pemurnian. 

Dubes AS menilai, dengan dibangunnya pembangkit listrik yang memanfaatkan POME, sangat berpengaruh pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang berakibat pada perubahan iklim. “Pada saat yang bersamaan, juga memberikan listrik pada masyarakat” ujar Blake. Kunjungan ke Jambi ini, menurut Blake juga sangat membuka cakrawala pengetahuannya dalam melihat Indonesia yang sesungguhnya. “MCC akan terus memantau proyek ini (Kemakmuran Hijau, red.) dari dekat dan melihat dampak ekonomi pada rakyat untuk dapat dikembangkan kemudian” tutur Blake. Kunjungan ini juga didampingi oleh Wakil Gubernur Jambi Fachrori Umar, turut memberikan beberapa tanggapan saat acara ramah tamah dengan masyarakat. Beliau mengingatkan agar pemanfaatan sumber daya alam harus terkoordinasi dan melakukan manajemen tata kelola lingkungan yang terintegrasi untuk keseimbangan alam. 

Pembangunan pembangkit listrik dari POME tentu memakan biaya yang tidak sedikit. Hanya sedikit sekali PKS yang memanfaatkan POME untuk dijadikan sumber listrik alternatif. Salah satu PKS yang sudah mengembangkan teknologi energi terbarukan dari POME adalah PT Austindo Aufwind New Energy yang terletak di Belitung. Diundang secara khusus, Imam Wahyudi, Head of Business Development-Associate General Manager PT Austindo Aufwind New Energy menjelaskan proses dan tahapan pengerjaan yang sudah diaplikasikan. “Ini hanya contoh teknologi yang dapat diterapkan di sini” kata Imam menjawab pertanyaan Dubes AS dalam kaitannya dengan pemanfaatan POME di Jambi. 

Skema pembiayaan hibah Proyek Kemakmuran Hijau membuka kesempatan bagi PKS yang ingin memanfaatkan fasilitas tersebut. “MCA-Indonesia akan mengevaluasi terlebih dahulu melalui beberapa tahapan dan survey” kata Budi Kuncoro, Direktur Proyek Kemakmuran Hijau. Pembiayaan tersebut tentu saja tidak untuk keseluruhan pembangunan pembangkit listrik. PT. Biccon Agro Makmur merupakan salah satu PKS yang membuka diri untuk pengembangan pembangkit listrik dari POME. “Kami berusaha mendapatkan hibah ini untuk membantu pembangunan pembangkit listrik di sini” kata Robinson Sibagariang, salah satu pemilik PT. Biccon Agro Makmur. PT Biccon Agro Makmur sendiri memiliki 6.000 hektar kebun kelapa sawit. PKS sendiri sudah beroperasi sejak Oktober 2011 hingga kini dengan kapasitas 60 ton per jam. Kabupaten Muaro Jambi memiliki setidaknya 10 PKS yang berpotensi menghasilkan 15-20 MW listrik. Saat ini, sudah empat PKS yang menyatakan ketertarikannya berinvestasi untuk listrik dari POME. Dengan dibangunnya pembangkit listrik dengan memanfaatkan POME di Muaro Jambi, tentu sangat akan banyak membantu kebutuhan pasokan listrik masyarakat yang tentu berdampak langsung pada peningkatan taraf hidup masyarakat. (LM/MA)