Pages

Labels

Thursday, May 28, 2015

Definisikan Usaha/Perusahaan Milik Perempuan, MCA-Indonesia Bantu Lebarkan Sayap Usaha Perempuan


Setelah bulan Agustus 2014 MCA-Indonesia meluncurkan sebuah hasil survey tentang Akses, Hambatan dan Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dikemas dalam sebuah buku yang judul “Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia”, kini giliran sebuah hasil survey lainnya mengenai Definisi Usaha/Perusahaan milik Perempuan di seminarkan secara nasional. Bertempat di hotel Alila Jakarta (27/5/2015), Konsultan Gender MCA-Indonesia, Marisna Yulianti, memaparkan hasil studi mengenai Definisi Usaha/Perusahaan milik Perempuan. Seminar nasional yang di helat MCA-Indonesia bertujuan untuk mendapatkan masukan dalam penyusunan Definisi Usaha/Perusahaan milik Perempuan guna kepentigan nasional.  Acara ini dibuka oleh Lukas Adhyakso, Deputy CEO untuk Program. Sesi pembukan kedua dilakukan oleh Valentina Ginting, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak. Dalam pesan pembukaannya, baik Lukas maupun Velentina meyakinkan bahwa standing point program hibah Compact dalam isu cross cutting Gender ini sejalan dengan amanat dalam RPJMN 2015-2019 dimana Pengarus-Utamaan Gender (PUG) mencantumkan tiga isu kebijkan nasional dan terkait juga dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, diinstruksikan setiap Kementerian/Lembaga (K/L) untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan pembangunan.

Paparan yang disampaikan oleh Marisna, dimulai dengan komparasi beberapa definisi yang ada di Negara-negara lain seperti dari Amerika, Kanada dan India serta dari lembaga internasional International Financial Corporation (IFC). Dalam temuannya, Marisna menemukan rata-rata definisi usaha/perusahaan milik perempuan sudah dibawa ke ranah legal formal dengan bukti kepemilikan saham minimal 51%. Sedangkan definisi yang diberikan oleh IFC dapat sedikit lebih longga dengan kepemilikan saham 20% namun usaha dikendalikan sepenuhnya oleh perempuan. Tanggapan yang diberikan umumnya seragam menganai batasan formal yang perlu diadopsi dengan kondisi khusus di Indonesia, yakni hamper 70-80% usaha di Indonesia adalah UKM/skala mikro. Dengan lebih sedikit perempuan yang ada di bidang ini, maka keberpihakan terhadap kaum perempuan secara regulasi harus lebih seksama. Terutama aturan mengenai batasan kepemilikan saham. Perwakilan dari Provinsi Aceh Nangro Darussalam, Teuku Sabirin, memberikan pandangan khususnya mengenai kondisi spesifik di Aceh. Sejak definisi akan dipergunakan secara nasional, maka karakteristik masyarakat Aceh harus juga dapat teradopsi dalam definisi. Teuku mencontohkan studi ILO pada tahun 2006 oleh Claudia Muller mengenai  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perempuan Pengusaha dalam Mendirikan dan Mengembangkan Usahanya di Provinsi NAD dapat dijadikan sebuah acuan. Sedangkan Nunki Januarti dari Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) berpendapat bahwa IWAPI didirikan bertujuan untuk mendorong perempuan pengusaha untuk dapat maju dengan memberikan berbagai macam fasilitas dan akses ke pasar atau permodalan. Dari banyak kasus aktivitas usaha/perusahaaan perempuan dilapangan, Nunki berharap agar definisi yang akan dibuat tidak selalu mengacu kepada definisi yang ada di luar negeri. Pembatasan prosentase kepemilikan saham (modal) 51% juga dapat menjadi sebuah kesulitan di lapangan. 



Sesi kedua Semiloka ini diisi dengan diskusi kelompok yang focus terhadap 2 hal, yaitu penyusunan definisi usaha/perusahaan perempuan dan identifikasi kebutihan definsi yang disusun. Forum semiloka dibagi menjadi 4 kelompok dan acara ini di fasilitasi olem MCA-Indonesia, Marisna dan Dwi Faiz (Direktur Social and Gender Assessment/SGA). Diskusi kelompok yang berjalan santai ini menghasilkan banyak ide dan masukan mengenai poin-poin yang diperlukan dalam penyusunan definisi beserta bagaimana definisi ini akan bermanfaat untuk perempuan dalam skala nasional, khususnya dalam pelaksanaan program hibah Compact. Dari sekian banyak usulan yang ada, nampaknya isu mengenai ketersediaan data mengenai pelaku usaha permpuan menjadi salah satu poin penting yang menjadi tugas BPS untuk merealisasikan dalam sensus ekonomi nasional (MA). 

No comments:

Post a Comment