Langkah
MCA-Indonesia dalam pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau semakin mantap dengan ditetapkannya
20 kabupaten calon lokasi Proyek Kemakmuran Hijau. Sebagai awal laju
bergulirnya program, sebanyak 10 kabupaten mengirimkan perwakilannya untuk
mengikuti penjelasan tentang pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau yang
dikhususkan pada pemantapan pemahaman nota kesepahaman bentuk kerjasama antara
MCA-Indonesia dan pemerintah daerah yang menjadi
lokasi proyek. Acara dengan tajuk Workshop Sosialisasi Dokumen Nota Kesepahaman
Pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau diselenggarakan di Hotel Aryaduta Jakarta,
Jumat (29/11/2013).

Pendanaan
Proyek Green
Prosperity (GP) dikonsentrasikan pada
provinsi dengan kabupaten yang memiliki potensi tinggi dalam pengurangan
kemiskinan dan berkaitan dengan pengelolaan kelestarian lingkungan. Wilayah
tersebut dipilih berdasarkan keberagaman sosial, ekonomi, lingkungan dan
indikator institusional, termasuk tingkat kemiskinan, potensi energi
terbarukan, potensi pengembangan ekonomi, pemerintahan, area konservasi,
wilayah hutan dan lahan gambut yang terancam degradasi dan penghancuran. Proyek GP sangat serius dalam meneliti kesiapan
daerah tersebut. Untuk itu, Penilaian
Kesiapan Wilayah (District Readiness Assessment/DRA) dilaksanakan untuk menilai
kabupaten yang memiliki potensi yang diindikasikan dalam perjanjian Compact.
Sebanyak 12 provinsi telah ditetapkan menjadi wilayah kerja GP yaitu Riau,
Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Rusdi
menambahkan, untuk masuk menjadi wilayah implementasi Proyek Kemakmuran Hijau,
diperlukan prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain memilik Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) pada tingkat kabupaten atau provinsi yang memiliki
persetujuan substansi oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan
setuju untuk membuat informasi pada lokasi perumahan pedesaan yang dapat
diakses oleh publik. Daerah harus menyutujui pembuatan transparansi proses
perijinan yang mudah diakses. “Daerah juga harus setuju untuk membuat informasi
perijinan tentang penggunaan sumber daya alam yang dapat diakses oleh publik”
tambah Rusdi. Kriteria tambahan dalam nota kesepahaman merujuk pada partisipasi
pemangku kepentingan, integrasi gender, fasilitasi investasi pendukung dan
sejalan dengan perlindungan sosial dan lingkungan. “Aspek yang harus dipatuhi dalam
perlindungan sosial dan lingkungan yaitu aspek pengambilan keputusan, aspek
kajian dampak lingkungan dan aspek keberlanjutan“ kata Lastyo K. Lukito, Direktur Performa Sosial dan Lingkungan
MCA-Indonesia. Hal ini penting untuk menjamin Program Compact berjalan dengan
baik dan berdampak ramah lingkungan. (LM)
No comments:
Post a Comment