Pages

Labels

Thursday, January 23, 2014

Ungkap Isu Gender dalam Proyek Modernisasi Pengadaan




Persoalan Gender sudah menjadi isu hangat di Indonesia bahkan pada level internasional. Program Compact juga menganggap penting masalah Gender dalam implementasi setiap program. Tak luput dalam Proyek Modernisasi Pengadaan, isu Gender menjadi perbincangan hangat dalam diskusi yang dihadiri oleh perwakilan ULP di Indonesia di Hotel Santosa, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (22/01/2014). Diskusi diprakarsai oleh MCA-Indonesia dan LKPP yang merupakan bagian dalam acara Lokakarya Asesmen Tingkat Maturity dan Peta Jalan Pengembangan Unit Layanan Pengadaan (ULP).

Dalam diskusi ini, sejumlah isu diangkat antara lain jumlah panitia pengadaan pada ULP yang berjenis kelamin perempuan dan permasalahan yang menjadi kendala utama minimnya perempuan pada posisi tersebut. Deputy Vice President MCC, Kyeh Kim yang berkesempatan hadir dalam acara ini menegaskan kembali tujuan Program Compact MCC adalah untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Perhatian beliau pada Proyek Modernisasi Pengadaan terutama untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pejabat perempuan dalam pemerintahan dan alasan mengapa hanya 5% pengusaha perempuan yang berhasil memenangkan tender terkait dengan Procurement Modernization

Budaya di Indonesia yang lebih memprioritaskan laki-laki dibandingkan perempuan dari sisi pendidikan menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat kompetensi perempuan. Direktur Sertifikasi Profesi LKPP, Gusmelinda Rahmi mengungkapkan kesulitan yang dihadapi LKPP dalam mencari perempuan yang kompeten untuk menduduki posisi panitia pengadaan. Sebagian besar perempuan merasa kurang percaya diri serta belum berani dan siap berkonflik dengan berbagai pihak terkait. Sekitar 90% perempuan banyak yang mengembalikan sertifikat ahli pengadaan barang/jasa karena belum siap untuk menjadi pejabat dalam pengadaan ujar Gusmelinda.


Permasalahan yang sama juga dihadapi ULP BMKG DKI Jakarta yang menyatakan sedikitnya minat perempuan untuk menempati posisi sebagai panitia pengadaan. Hanya 2 dari 7 orang yang tercatat sebagai panitia pengadaan berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar kurang memahami lebih detil tentang Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Lain hal dengan ULP Kabupaten Solok, Sumatera Barat dimana hanya 16% dari 30% kuota yang disediakan untuk perempuan. Dari 5 pokja hanya diisi oleh 2 orang panitia pengadaan perempuan. Hal tersebut disebabkan peran ganda perempuan sebagai pegawai dan ibu rumah tangga. Pengambil keputusan banyak didominasi laki-laki. ULP Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan telah membuat penelitian yang hasilnya mengatakan bahwa jabatan tertinggi perempuan di kota itu hanya pada level eselon 3 dengan alasan peran ganda yang dijalaninya. Pada ULP Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, total panitia pengadaan sebanyak 20 orang dan hanya ada 5 orang panitia perempuan. Dari 5 pokja masing-masing hanya diwakili oleh 1 orang panitia pengadaan perempuan. Alasan yang dikemukakan antara lain perempuan belum tegas dalam mengambil keputusan, terhalang jam kerja, masih lemah dalam hal negosiasi dan kultur di Indonesia yang mengkultuskan pemimpin laki-laki lebih baik daripada perempuan.

Menanggapi berbagai isu yang muncul, Direktur MCA-Indonesia, J.W. Saputro berpendapat lain. Perempuan, terutama di MCA-Indonesia lebih teliti dan mempunyai tingkat komptensi yang tinggi. Proses perekrutan di MCA-Indonesia sendiri tidak berdasarkan Gender melainkan kompetensi. Ke depan, Gender sebagai cross cutting sector di MCA-Indonesia berencana mengembangkan bahasan mengenai gender melalui social media seperti facebook dan e-mail. Dalam diskusi ini dihadiri oleh Resident Country Director MCC, Troy Wray, jajaran direktur MCA-Indonesia, LKPP, ULP, ITB dan Satker Pengelola Hibah MCC. (DP/LM)

No comments:

Post a Comment