Persoalan Gender sudah menjadi isu hangat di Indonesia bahkan pada level
internasional. Program Compact juga menganggap penting masalah Gender dalam
implementasi setiap program. Tak luput dalam Proyek Modernisasi Pengadaan, isu
Gender menjadi perbincangan hangat dalam diskusi yang dihadiri oleh perwakilan
ULP di Indonesia di Hotel Santosa, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu
(22/01/2014). Diskusi diprakarsai oleh MCA-Indonesia dan LKPP yang merupakan
bagian dalam acara Lokakarya
Asesmen Tingkat Maturity dan Peta Jalan Pengembangan Unit Layanan Pengadaan
(ULP).
Dalam diskusi ini, sejumlah isu diangkat antara lain
jumlah panitia pengadaan pada ULP yang berjenis kelamin perempuan dan
permasalahan yang menjadi kendala utama minimnya perempuan pada posisi
tersebut. Deputy Vice President MCC, Kyeh Kim yang berkesempatan hadir dalam
acara ini menegaskan kembali tujuan Program Compact MCC adalah untuk mengentaskan
kemiskinan di Indonesia. Perhatian beliau pada Proyek Modernisasi Pengadaan
terutama untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
pejabat perempuan dalam pemerintahan dan alasan mengapa hanya 5% pengusaha perempuan yang berhasil memenangkan tender
terkait dengan Procurement Modernization.
Budaya di Indonesia yang lebih memprioritaskan
laki-laki dibandingkan perempuan dari sisi pendidikan menjadi salah satu sebab
rendahnya tingkat kompetensi perempuan. Direktur Sertifikasi Profesi LKPP,
Gusmelinda Rahmi mengungkapkan kesulitan yang dihadapi LKPP dalam mencari perempuan
yang kompeten untuk menduduki posisi panitia pengadaan. Sebagian besar
perempuan merasa kurang percaya diri serta belum berani dan siap berkonflik dengan
berbagai pihak terkait. “Sekitar 90%
perempuan banyak yang mengembalikan sertifikat ahli pengadaan barang/jasa
karena belum siap untuk menjadi pejabat dalam pengadaan” ujar Gusmelinda.
Permasalahan yang sama juga dihadapi ULP BMKG DKI
Jakarta yang menyatakan sedikitnya minat perempuan untuk menempati posisi
sebagai panitia pengadaan. Hanya 2 dari 7 orang yang tercatat sebagai panitia
pengadaan berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar kurang memahami lebih
detil tentang Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Lain hal dengan ULP
Kabupaten Solok, Sumatera Barat dimana hanya 16% dari 30% kuota yang disediakan
untuk perempuan.
Dari 5 pokja hanya diisi oleh 2 orang
panitia pengadaan perempuan. Hal tersebut disebabkan peran ganda perempuan sebagai pegawai dan ibu rumah
tangga.
Pengambil keputusan banyak didominasi laki-laki. ULP Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan telah membuat penelitian yang hasilnya mengatakan bahwa
jabatan tertinggi perempuan di kota itu hanya pada level eselon 3 dengan alasan
peran ganda yang dijalaninya. Pada ULP
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, total panitia
pengadaan sebanyak 20 orang dan hanya ada 5
orang panitia perempuan. Dari 5 pokja
masing-masing hanya diwakili oleh 1 orang
panitia pengadaan perempuan. Alasan yang dikemukakan antara lain perempuan belum tegas dalam mengambil keputusan,
terhalang jam kerja, masih lemah dalam hal negosiasi dan kultur di Indonesia
yang mengkultuskan pemimpin
laki-laki lebih baik daripada perempuan.
Menanggapi berbagai isu yang muncul, Direktur
MCA-Indonesia, J.W. Saputro berpendapat lain. Perempuan, terutama di
MCA-Indonesia lebih teliti dan mempunyai tingkat komptensi yang tinggi. Proses
perekrutan di MCA-Indonesia sendiri tidak berdasarkan Gender melainkan
kompetensi. Ke depan, Gender sebagai cross
cutting sector di MCA-Indonesia berencana mengembangkan bahasan mengenai
gender melalui social media seperti
facebook dan e-mail. Dalam diskusi ini dihadiri oleh Resident
Country Director MCC, Troy Wray, jajaran direktur MCA-Indonesia, LKPP, ULP, ITB dan Satker Pengelola Hibah MCC. (DP/LM)
No comments:
Post a Comment