Pages

Labels

Saturday, November 30, 2013

MCA-I Undang Kabupaten Baru untuk Sosialisasi Proyek Kemakmuran Hijau








MCA-Indonesia mengundang 10 kabupaten baru yang telah ditetapkan sebagai calon lokasi Proyek Kemakmuran Hijau dalam acara Workshop Sosialisasi Dokumen Nota Kesepahaman Pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau di Hotel Aryaduta Jakarta, Jumat (29/11/2013). Acara ini merupakan pertemuan lanjutan dari pertemuan sebelumnya dengan kepala daerah calon lokasi Proyek Kemakmuran Hijau di Bappenas dua pekan silam, yang intinya berupa penjajagan kemungkinan dilakukannya penandatanganan nota kesepahaman untuk pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau. Acara dibuka oleh Direktur Energi, Teknologi dan Informatika Bappenas selaku Kepala Sekretariat Pengelola Hibah MCC, Jadhie J. Ardajat, didampingi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengelola Hibah MCC, Hari Kristijo dan Direktur Eksekutif MCA-Indonesia, J.W. Saputro.

Setelah sukses dengan jalinan kerjasama dengan 4 kabupaten starter sebelumnya, kini MCA-Indonesia sengaja mengundang perwakilan dari masing-masing kabupaten yang notabene sebagai pelaksana teknis di lapangan untuk memberikan penjelasan tentang detil pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau khususnya mengupas nota kesepahaman bentuk kerjasama yang akan dijalin kelak. Forum ini juga memfasilitasi daerah dalam menyampaikan potensi dan permasalahan yang berkembang untuk menyesuaikan dengan program kerja Proyek Kemakmuran Hijau. Kabupaten Berau misalnya, sangat tertarik dengan Program Kemakmuran Hijau yang dipandang menunjang program kerja pembangunan daerah. Kekhawatiran muncul ketika melihat sumber daya manusia yang dirasa kurang mendukung ditambah dengan infrastruktur yang kurang baik, menjadi perhatian khusus Pemerintah Daerah Berau akan kesuksesan program ini. “Keberhasilan program ini atas dukungan dan kerja sama dari kita semua, bila satu kabupaten tingkat partisipasinya tinggi, maka proyek akan berjalan lancar” ujar Budi Kuncoro, Direktur Kemakmuran Hijau. 


Proyek Kemakmuran Hijau merupakan proyek yang inovatif memerangi kemiskinan yang mendukung prioritas perekonomian dan lingkungan di Indonesia. Membangun model pembangunan yang baru dan berjangka panjang untuk pengembangan, pendanaan dan pelaksanaan proyek pertumbuhan hijau pada tingkat lokal. “Program-program dalam kegiatan MCA-Indonesia merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang usung pemerintah” ujar Hari Kristijo. Kolaborasi dan dukungan pemerintah daerah sangat erat hubungannya dalam kesuksesan pelaksanaan program.


Beberapa pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan kegiatan Kemakmuran Hijau (Green Prosperity) antara lain  mengarahkan para enterpreneur untuk turut serta dalam mengelola dan menjaga keberlangsungan proyek sehingga dapat memberi manfaat bagi masyarakat di lokasi proyek.  Adanya kesiapan pemerintah daerah dalam memberikan dukungan penuh terhadap kebutuhan regulasi yang diperlukan dalam implementasi proyek. “Empowering masyarakat melalui pemberian kemudahan akses dalam mendapatkan pinjaman atau kredit modal” tambah Jadhie J. Ardajat dalam paparannya. Konsep ini didesain bersifat berkelanjutan (sustainable) hingga dapat terus diperoleh manfaatnya.


Proyek Kemakmuran Hijau ini juga akan membantu merangsang investasi yang lebih besar dari sektor swasta dalam strategi pertumbuhan rendah karbon untuk Indonesia. Memacu kewirausahaan lokal melalui peluang yang muncul dalam bidang energi terbarukan dan praktik penggunaan lahan yang inovatif. Membangun kapasitas yang lebih besar dan komitmen bersama sektor swasta, masyarakat sipil dan pemerintah terhadap azaz pembangunan berkelanjutan. “Keberhasilan pengelolaan Program Compact melalui Proyek Green Prosperity diharapkan dapat menjadi model baru pembangunan yang kelak dapat diterpakan pada program pembangunan lainnya” kata J.W Saputro. (LM)

Bedah Nota Kesepahaman Proyek Kemakmuran Hijau Bersama Daerah Baru








Langkah MCA-Indonesia dalam pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau semakin mantap dengan ditetapkannya 20 kabupaten calon lokasi Proyek Kemakmuran Hijau. Sebagai awal laju bergulirnya program, sebanyak 10 kabupaten mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti penjelasan tentang pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau yang dikhususkan pada pemantapan pemahaman nota kesepahaman bentuk kerjasama antara MCA-Indonesia dan pemerintah daerah yang menjadi lokasi proyek. Acara dengan tajuk Workshop Sosialisasi Dokumen Nota Kesepahaman Pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau diselenggarakan di Hotel Aryaduta Jakarta, Jumat (29/11/2013).

Nota kesepahaman ini ditujukan sebagai dasar dalam pelaksanaan kerjasama antara Pihak Pertama, dalam hal ini Ketua Majelis Wali Aamanat MCA-Indonesia atas nama Lembaga Wali Amanat MCA-Indonesia dengan Pihak Kedua yaitu Bupati yang bertindak untuk dan atas nama pemerintah kabupaten dengan dukungan penuh dari Pihak Ketiga yaitu Gubernur yang bertindak untuk dan atas nama pemerintah provinsi dalam rangka pelaksanaan Proyek Kemakmuran Hijau. Nota kesepahaman akan berlaku selama 2 tahun sejak ditandatangani oleh para pihak dan secara otomatis diperpanjang sampai dengan berakhirnya proyek atau berakhirnya Program Compact dan akan dievaluasi setiap tahun melalui mekanisme yang disetujui oleh para pihak. Dalam paparannya, Direktur Hukum MCA-Indonesia, Rusdi Irwanto menjelaskan nota kesepahaman ini berisi tentang ruang lingkup Proyek Kemakmuran Hijau, contoh bentuk kegiatan fasilitas Kemakmuran Hijau (Green Prosperity) untuk proyek energi terbarukan dan pengelolaan sumber daya alam, bentuk fasilitas pendanaan Green Prosperity dan persyaratan untuk menjadi wilayah implementasi proyek.

Pendanaan Proyek Green Prosperity (GP) dikonsentrasikan pada provinsi dengan kabupaten yang memiliki potensi tinggi dalam pengurangan kemiskinan dan berkaitan dengan pengelolaan kelestarian lingkungan. Wilayah tersebut dipilih berdasarkan keberagaman sosial, ekonomi, lingkungan dan indikator institusional, termasuk tingkat kemiskinan, potensi energi terbarukan, potensi pengembangan ekonomi, pemerintahan, area konservasi, wilayah hutan dan lahan gambut yang terancam degradasi dan penghancuran. Proyek GP sangat serius dalam meneliti kesiapan daerah  tersebut. Untuk itu, Penilaian Kesiapan Wilayah (District Readiness  Assessment/DRA) dilaksanakan untuk menilai kabupaten yang memiliki potensi yang diindikasikan dalam perjanjian Compact. Sebanyak 12 provinsi telah ditetapkan menjadi wilayah kerja GP yaitu Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
 
Rusdi menambahkan, untuk masuk menjadi wilayah implementasi Proyek Kemakmuran Hijau, diperlukan prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain memilik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada tingkat kabupaten atau provinsi yang memiliki persetujuan substansi oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan setuju untuk membuat informasi pada lokasi perumahan pedesaan yang dapat diakses oleh publik. Daerah harus menyutujui pembuatan transparansi proses perijinan yang mudah diakses. “Daerah juga harus setuju untuk membuat informasi perijinan tentang penggunaan sumber daya alam yang dapat diakses oleh publik” tambah Rusdi. Kriteria tambahan dalam nota kesepahaman merujuk pada partisipasi pemangku kepentingan, integrasi gender, fasilitasi investasi pendukung dan sejalan dengan perlindungan sosial dan lingkungan. “Aspek yang harus dipatuhi dalam perlindungan sosial dan lingkungan yaitu aspek pengambilan keputusan, aspek kajian dampak lingkungan dan aspek keberlanjutan“ kata Lastyo K. Lukito,  Direktur Performa Sosial dan Lingkungan MCA-Indonesia. Hal ini penting untuk menjamin Program Compact berjalan dengan baik dan berdampak ramah lingkungan. (LM)






Wednesday, November 27, 2013

Probity Audit, Senjata Ampuh Inspektorat Kota Bukittinggi



Diskusi Kegiatan Inspektorat Kota Bukittinggi dalam Implementasi Modernisasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia sudah mencapai  pada level yang mengkhawatirkan. Tahun 2011 saja tercatat 85% kasus korupsi di bidang ini melibatkan 173 kepala daerah. BPKP juga melansir data kasus korupsi di bidang pengadaan barang/jasa sejak tahun 2003 sebanyak 3423 kasus. Kenyataan ini membuat Inspektorat Kota Bukittinggi menerapkan sistem Probity Audit dalam proses kerjanya. Penerapan sistem ini terinspirasi dari negara-negara yang berhasil menurunkan kasus korupsinya seperti Australia dan negara persemakmuran lainnya. Langkah ini dijelaskan Inspektur Kota Bukittinggi, Drs. H. Melfi Abra, M.Si kepada jajaran staf Satuan Kerja (Satker) Pengelola Hibah MCC, ULP Kota Bukittinggi dan Inspektorat Kota Bukittinggi dalam acara Workshop Fasilitasi Program Modernisasi Pengadaan – Compact untuk Penguatan Unit Layanan Pengadaan (ULP), di Hotel Rocky Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat, Senin (25/11/2013).

Probity Audit adalah pemberian jaminan dengan melakukan pengawasan independen terhadap proses pengadaan dan mengungkapkan pendapat objektif mengenai apakah persyaratan probity  yang ditentukan telah ditaati. Kesimpulan yang diungkapkan harus didasarkan pada bukti yang dikumpulkan dibandingkan dengan kriteria yang ditentukan. Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, Probity Audit merupakan audit dengan tujuan tertentu sesuai vide penjelasan Pasal 4 ayat 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Audit dengan tujuan tertentu ini merupakan audit ketaatan terhadap ketentuan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan selama proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa melalui pendekatan Probit” ujar Melfi.

Probity Audit diterapkan selama proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara real time untuk memastikan bahwa seluruh ketentuan telah diikuti dengan benar, jujur dan penuh integritas, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa. Melfi menjelaskan, tujuan Probity Audit pada Inspektorat Kota Bukittinggi untuk menyakinkan bahwa proses pengadaan barang/jasa telah sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya dan mampu melindungi para pihak berkepentingan. “Memelihara tingkat kepercayaan publik dan peserta tender dalam menciptakan akuntabilitas dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah” tambah Melfi. Probity Audit juga dapat meyakinkan keputusan yang dibuat terhindar dari tuntutan hukum.

Untuk mendukung kelancaran proses, Inspektorat Kota Bukittinggi melakukan sosialisasi Pedoman Probity Audit kepada Kepala Daerah dan Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta Pelaksana Pengadaan seperti Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, ULP dan lainnya. Inspektorat bekerja sama dengan perwakilan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) dalam melakukan Asistensi Peningkatan Kapabilitas Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) pada instansi pemerintah daerah. “Strategi lain yang diterapkan dengan mengintegrasikan Probity Audit dengan Fraud Control Plan” jelas Melfi. Inspektorat membuat Klinik Pengawasan  sebagai  implementasi fungsi APIP yaitu Quality Assurance, Consultante dan Controlling.



Proses audit dalam implementasi Probity Audit pada tahap perencanaan dan persiapan pengadaan barang/jasa dilaksanakan sejak identifikasi kebutuhan dalam penyusunan Rencana Umum Pelelangan. Audit juga dilakukan pada saat proses pengadaan barang/jasa sedang berlangsung dan/atau segera setelah proses  tersebut selesai. "Selain itu, saat pembahasan anggaran oleh TAPD dan DPR/DPRD kami juga melakukan audit" tambah Melfi. Dengan demikian, maka audit  dapat dilakukan secara real time, mulai dari pengumuman lelang sampai dengan penunjukan penyedia barang/jasa (LM/MA).

ULP Kota Bukittinggi Rencanakan Sebuah ULP yang Mandiri



Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) Kota Bukittinggi merencanakan pembentukan ULP yang mandiri pada tahun 2014, tidak lagi terkait pada Bagian Pembangunan dalam struktur organisasi pemerintah Kota Bukittinggi. Pernyataan ini disampaikan oleh Rahmat AE, ST sebagai Kepala ULP Kota Bukittinggi yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bukittinggi dalam acara Workshop Fasilitasi Program Modernisasi Pengadaan – Compact untuk Penguatan Unit Layanan Pengadaan di Hotel Grand Rocky Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat, Senin (25/11/2013). Satuan Kerja (Satker) Pengelola Hibah MCC memprakarsai acara ini untuk mendapatkan informasi serta pembelajaran terkait praktik pengadaan barang/jasa pemerintah yang akan menjadi masukan bagi pelakasaan Program Compact untuk Proyek Modernisasi Pengadaan.

Dalam paparannya, Rahmad menjelaskan pembentukan ULP yang mandiri akan bersifat permanen, di mana kedudukan ULP yang di dalamnya terdapat beberapa kelompok kerja (pokja) akan mempunyai posisi yang berimbang dengan Pengguna Anggaran atau bahkan lebih tinggi dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Setelah menjadi unit yang mandiri, staf pokja ULP tidak lagi terikat dengan penugasan dari instansi asal dan hanya tunduk pada struktur organisasi ULP. Staf ULP yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan kompetensi tinggi di bidang pengadaan diharapkan dapat berkumpul dalam suatu wadah ULP dengan tupoksi khusus dan fokus melayani pelaksanaan pengadaan barang/jasa, tidak terganggu oleh aktifitas lainnya di luar pengadaan barang/jasa. Kini, pokja ULP Kota Bukittinggi hanya tersisa sebanyak 13 orang setelah ditarik kembali ke instansi masing-masing.

Upaya untuk menjadikan ULP Kota Bukittinggi menjadi ULP yang permanen tidak tanpa alasan. Hal utama yang mendasari pembentukan ULP Kota Bukittinggi antara lain Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tidak dapat menyusun Rencana Umum Pengadaan secara komprehensif dan prosedur pengadaannya, disebabkan kurangnya sumber daya manusia dan input dari unit pendukungnya. Informasi dan publikasi terkait pengadaan seperti daftar hitam, daftar asuransi, bank penjamin, rincian harga pasar lainnya tidak terkompilasi dengan baik sehingga tidak dapat dijadikan sebagai rujukan dalam proses pengadaan. Selain itu, dokumen pengadaan, dokumentasi dan pengarsipan yang dilakukan oleh panitia pengadaan tidak terintegrasi karena pembentukan Panitia Pengadaan bersifat ad hoc. Hal ini berimplikasi pada proses monitoring dan evaluasi yang sulit dilakukan karena keberadaan panitia tersebar dan ad hoc.
 
ULP Kota Bukittinggi menerapkan prinsip dalam operasionalisasi kegiatan, yaitu efisien, efektif, transparan, keterbukaan, bersaing, adil, tidak diskriminatif dan akuntabel. Prinsip ini diyakini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa pemerintah. “Hasil kinerja ULP dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat baik dari segi administrasi, teknis dan keuangan” ujar Rahmat.
 
Untuk menjaga konsistensi pelaksanaan kerja, ULP Kota Bukittinggi telah membuat Standar Prosedur Operasional (SOP/Standard Operational Procedure) mengenai panduan pengadaan barang/jasa, merujuk pada Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010. Rencananya, SOP ini akan diperbarui kembali dengan mengacu pada Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 yang akan terintegrasi dengan keuangan daerah. (LM/MA)