Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) Kota Bukittinggi
merencanakan pembentukan ULP yang mandiri pada tahun 2014, tidak lagi terkait
pada Bagian Pembangunan dalam struktur organisasi pemerintah Kota Bukittinggi.
Pernyataan ini disampaikan oleh Rahmat AE, ST sebagai Kepala ULP Kota Bukittinggi yang juga menjabat
sebagai Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bukittinggi dalam
acara Workshop Fasilitasi Program Modernisasi Pengadaan – Compact untuk Penguatan Unit Layanan Pengadaan di Hotel Grand Rocky Kota
Bukit Tinggi, Sumatera Barat,
Senin (25/11/2013). Satuan Kerja (Satker) Pengelola Hibah MCC memprakarsai
acara ini untuk mendapatkan informasi serta pembelajaran terkait praktik
pengadaan barang/jasa pemerintah yang akan menjadi masukan bagi pelakasaan
Program Compact untuk Proyek Modernisasi Pengadaan.
Dalam paparannya,
Rahmad menjelaskan pembentukan ULP yang mandiri akan bersifat permanen, di mana
kedudukan ULP yang di dalamnya terdapat beberapa kelompok kerja (pokja) akan
mempunyai posisi yang berimbang dengan Pengguna Anggaran atau bahkan lebih
tinggi dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Setelah menjadi unit yang mandiri, staf
pokja ULP tidak lagi terikat dengan penugasan dari instansi asal dan hanya
tunduk pada struktur organisasi ULP. Staf ULP yang berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dengan kompetensi tinggi di bidang pengadaan diharapkan dapat
berkumpul dalam suatu wadah ULP dengan tupoksi khusus dan fokus melayani
pelaksanaan pengadaan barang/jasa, tidak terganggu oleh aktifitas lainnya di
luar pengadaan barang/jasa. Kini, pokja ULP Kota Bukittinggi hanya tersisa
sebanyak 13 orang setelah ditarik kembali ke instansi masing-masing.
Upaya untuk
menjadikan ULP Kota Bukittinggi menjadi ULP yang permanen tidak tanpa alasan. Hal
utama yang mendasari pembentukan ULP Kota Bukittinggi antara lain Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tidak dapat menyusun Rencana Umum Pengadaan
secara komprehensif dan prosedur pengadaannya, disebabkan kurangnya sumber daya
manusia dan input dari unit pendukungnya. Informasi dan publikasi terkait pengadaan
seperti daftar hitam, daftar asuransi, bank penjamin, rincian harga pasar
lainnya tidak terkompilasi dengan baik sehingga tidak dapat dijadikan sebagai rujukan
dalam proses pengadaan. Selain itu, dokumen pengadaan, dokumentasi dan pengarsipan
yang dilakukan oleh panitia pengadaan tidak terintegrasi karena pembentukan
Panitia Pengadaan bersifat ad hoc. Hal ini berimplikasi pada proses monitoring dan evaluasi yang
sulit dilakukan karena keberadaan panitia tersebar dan ad hoc.
ULP Kota Bukittinggi menerapkan prinsip dalam
operasionalisasi kegiatan, yaitu efisien,
efektif, transparan, keterbukaan, bersaing, adil, tidak diskriminatif dan
akuntabel. Prinsip ini diyakini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap proses pengadaan barang/jasa pemerintah. “Hasil kinerja ULP dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat baik dari segi administrasi, teknis dan
keuangan” ujar Rahmat.
Untuk menjaga konsistensi pelaksanaan kerja,
ULP Kota Bukittinggi telah membuat Standar Prosedur Operasional (SOP/Standard Operational Procedure) mengenai
panduan pengadaan barang/jasa, merujuk pada Peraturan Presiden No. 54 Tahun
2010. Rencananya, SOP ini akan diperbarui kembali dengan mengacu pada Peraturan
Presiden No. 70 Tahun 2012 yang akan terintegrasi dengan keuangan daerah.
(LM/MA)
No comments:
Post a Comment