Setelah bulan Agustus 2014
MCA-Indonesia meluncurkan sebuah hasil survey tentang Akses, Hambatan dan
Kecenderungan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dikemas dalam sebuah
buku yang judul “Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia”,
kini giliran sebuah hasil survey lainnya mengenai Definisi Usaha/Perusahaan milik
Perempuan di seminarkan secara nasional. Bertempat di hotel Alila Jakarta
(27/5/2015), Konsultan Gender MCA-Indonesia, Marisna Yulianti, memaparkan hasil
studi mengenai Definisi Usaha/Perusahaan milik Perempuan. Seminar nasional yang
di helat MCA-Indonesia bertujuan untuk mendapatkan masukan dalam penyusunan Definisi
Usaha/Perusahaan milik Perempuan guna kepentigan nasional. Acara ini dibuka oleh Lukas Adhyakso,
Deputy CEO untuk Program. Sesi pembukan kedua dilakukan oleh Valentina Ginting,
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak. Dalam
pesan pembukaannya, baik Lukas maupun Velentina meyakinkan bahwa standing point program hibah Compact
dalam isu cross cutting Gender ini
sejalan dengan amanat dalam RPJMN 2015-2019 dimana Pengarus-Utamaan Gender
(PUG) mencantumkan tiga isu kebijkan nasional dan terkait juga dengan Instruksi Presiden Nomor 9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional,
diinstruksikan setiap Kementerian/Lembaga (K/L) untuk mengintegrasikan gender
pada setiap tahapan pembangunan.
Paparan
yang disampaikan oleh Marisna, dimulai dengan komparasi beberapa definisi yang
ada di Negara-negara lain seperti dari Amerika, Kanada dan India serta dari
lembaga internasional International Financial Corporation (IFC). Dalam
temuannya, Marisna menemukan rata-rata definisi usaha/perusahaan milik
perempuan sudah dibawa ke ranah legal formal dengan bukti kepemilikan saham
minimal 51%. Sedangkan definisi yang diberikan oleh IFC dapat sedikit lebih longga
dengan kepemilikan saham 20% namun usaha dikendalikan sepenuhnya oleh
perempuan. Tanggapan yang diberikan umumnya seragam menganai batasan formal
yang perlu diadopsi dengan kondisi khusus di Indonesia, yakni hamper 70-80%
usaha di Indonesia adalah UKM/skala mikro. Dengan lebih sedikit perempuan yang
ada di bidang ini, maka keberpihakan terhadap kaum perempuan secara regulasi
harus lebih seksama. Terutama aturan mengenai batasan kepemilikan saham. Perwakilan
dari Provinsi Aceh Nangro Darussalam, Teuku Sabirin, memberikan pandangan
khususnya mengenai kondisi spesifik di Aceh. Sejak definisi akan dipergunakan
secara nasional, maka karakteristik masyarakat Aceh harus juga dapat teradopsi
dalam definisi. Teuku mencontohkan studi ILO pada tahun 2006 oleh Claudia
Muller mengenai Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Perempuan Pengusaha dalam Mendirikan dan Mengembangkan Usahanya di
Provinsi NAD dapat dijadikan sebuah acuan. Sedangkan Nunki Januarti dari Ikatan
Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) berpendapat bahwa IWAPI didirikan bertujuan
untuk mendorong perempuan pengusaha untuk dapat maju dengan memberikan berbagai
macam fasilitas dan akses ke pasar atau permodalan. Dari banyak kasus aktivitas
usaha/perusahaaan perempuan dilapangan, Nunki berharap agar definisi yang akan
dibuat tidak selalu mengacu kepada definisi yang ada di luar negeri. Pembatasan
prosentase kepemilikan saham (modal) 51% juga dapat menjadi sebuah kesulitan di
lapangan.
Sesi
kedua Semiloka ini diisi dengan diskusi kelompok yang focus terhadap 2 hal,
yaitu penyusunan definisi usaha/perusahaan perempuan dan identifikasi kebutihan
definsi yang disusun. Forum semiloka dibagi menjadi 4 kelompok dan acara ini di
fasilitasi olem MCA-Indonesia, Marisna dan Dwi Faiz (Direktur Social and Gender
Assessment/SGA). Diskusi kelompok yang berjalan santai ini menghasilkan banyak
ide dan masukan mengenai poin-poin yang diperlukan dalam penyusunan definisi
beserta bagaimana definisi ini akan bermanfaat untuk perempuan dalam skala
nasional, khususnya dalam pelaksanaan program hibah Compact. Dari sekian banyak
usulan yang ada, nampaknya isu mengenai ketersediaan data mengenai pelaku usaha
permpuan menjadi salah satu poin penting yang menjadi tugas BPS untuk
merealisasikan dalam sensus ekonomi nasional (MA).
No comments:
Post a Comment