Perjalanan Satker Pengelola Hibah MCC dalam melakukan assessment terhadap Unit Layanan Pengadaan (ULP) telah sampai pada wilayah paling ujung Barat Indonesia, Kota Sabang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ketertarikan Tim Satker Pengelola Hibah MCC untuk berkunjung ke ULP Kota Sabang bukan tanpa sebab. Kota Sabang yang terletak di Pulau Weh, dikenal dengan zona ekonomi bebas Indonesia, di mana wilayahnya berbatasan langsung dengan 3 negara yaitu Malaysia, India dan Thailand, memang layak untuk dicermati.
Dalam kunjungan singkat ke ULP Kota Sabang, Selasa (18/03/2014) Tim Satker Pengelola Hibah MCC yang dipimpin langsung oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Hari Kristijo mendapatkan banyak informasi penting terkait perkembangan ULP Kota Sabang yang telah terbentuk sejak Desember 2011. Pembentukan ULP Kota Sabang berdasarkan Surat Keputusan Walikota Sabang, langsung menempatkan operasional sehari-hari di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Sabang hingga kini. ULP Kota Sabang dikepalai oleh pejabat setigkat Eselon IV. Sawidar, Kepala ULP Kota Sabang memimpin lembaga ini tahun 2012 dan berlanjut tahun 2014. Tahun 2013 terjadi pergantian kepemimpinan di tubuh ULP Kota Sabang yang saat itu dipimpin oleh Zulkarnain. Pemerintah Daerah Kota Sabang juga membentuk Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di bawah manajemen Kepala Bidang Pembangunan, Sekretariat Daerah Kota Sabang.
ULP Kota Sabang terdiri atas beberapa Kelompok Kerja (Pokja). Dengan jumlah anggota Pokja sekitar 40 orang, lembaga ini mampu memproses paket pengadaan dengan total nilai Rp 51,8 milyar tahun 2013 dan berlanjut hingga tahun 2014. Penghematan yang sangat berarti dirasakan dengan terbentuknya ULP. Efisiensi terjadi di semua lini, mulai dari proses lelang umum hingga kompetisi antar penyedia jasa yang menjadi peserta lelang. Proses pelelangan umum yang terpusat di satu lokasi, menambah efektif dan memudahkan dalam setiap tahapannya. Adanya ULP sangat dirasakan manfaatnya oleh setiap Anggota Pokja ULP. Sistem ini tidak mengharuskan mereka bertatap muka langsung dengan penyedia jasa yang pada akhirnya menghindarkan mereka dari sanggahan berlebih yang kerap terjadi. Kinerja menjadi meningkat dengan sistematika yang nyaman. ULP Kota Sabang memberikan penjelasan berupa sosialisasi kepada penyedia jasa peserta lelang dari secara berkala dan hasilnya terlihat nyata ketika jumlah sanggahan terhadap putusan lelang berkurang drastis disebabkan penyedia jasa sudah memahami benar aturan yang diterapkan melalui sistem e-procurement.
Dibalik semua keberhasilan yang sudah diraih sejauh ini, ULP Kota Sabang masih menyisakan berbagai kendala dalam proses operasional. Pemerintah daerah hanya sedikit mengalokasikan aggarannya bagi peningkatan kapasitas Anggota ULP. Padahal, kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni dalam bidang pengadaan, menjadi kunci dasar keberhasilan sistem yang dibangun. Ada hal cukup unik terjadi di ULP Kota Sabang. Terdapat 100 orang Pegawai Negeri Sipil yang telah memegang sertifikat pengadaan, namun demikian hanya sedikit sekali yang bersedia menjadi Anggota Pokja ULP. Alasan dibalik keengganan tersebut dikarenakan besarnya resiko yang dihadapi sebagai konsekuensi tanggung jawab yang diemban sebagai Anggota Pokja ULP, baik secara teknis maupun non teknis. Keengganan terbesar terutama dari Anggota Pokja ULP perempuan. Dari total jumlah Anggota Pokja ULP, hanya 5 orang saja yang bersedia menduduki jabatan tersebut dan umumnya mereka berada pada Pokja Jasa Konsultansi.
Cerita lainnya dari LPSE, bermula di tahun 2012 terjadi penolakan atas diberlakukannya sistem secara elektronik dari penyedia jasa yang notabene adalah pengusaha setempat. E-procurement yang diterapkan dianggap menyulitkan. Hal ini mendorong LPSE Kota Sabang untuk lebih meningkatkan sosialisasi praktik pengadaan dengan menggunakan sistem e-procurement. Setahun kemudian, tepatnya tahun 2013, semua penyedia jasa sudah memahami mekanisme dan sistematika dalam proses e-procurement dan tidak ada lagi kata penolakan untuk menggunakannya. Unit Server LPSE Kota Sabang ditempatkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan harapan mendapatkan kwalitas jaringan internet dan pasokan listrik
yang memadai. Namun seringkali terjadi gangguan sehingga proses pelelangan secara elektronik menjadi terhambat. Contoh yang dihadapi dengan kendala jaringan tersebut adalah sulitnya peserta lelang mengunggah dokumen penawaran yang dibutuhkan sebagai syarat keikutsertaan. (HK/LM)
yang memadai. Namun seringkali terjadi gangguan sehingga proses pelelangan secara elektronik menjadi terhambat. Contoh yang dihadapi dengan kendala jaringan tersebut adalah sulitnya peserta lelang mengunggah dokumen penawaran yang dibutuhkan sebagai syarat keikutsertaan. (HK/LM)
No comments:
Post a Comment