Pages

Labels

Monday, February 17, 2014

SGA Ujicobakan Modulnya untuk Proyek Kemakmuran Hijau di Jambi



Social and Gender Assessment (SGA) MCA-Indonesia mulai mengujicobakan Modul Pemberdayaan Gender Proyek Kemakmuran Hijau di Provinsi Jambi yang meliputi dua kabupaten starter, yaitu Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Merangin. Diskusi dilaksanakan di Aula Kantor Bappeda Provinsi Jambi, Senin (10/02/2014) melibatkan stakeholder dari berbagai lembaga, seperti Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) dan lainnya. Satker Pengelola Hibah MCC turut hadir sebagai tim pendukung.

Acara dibuka oleh Sekretaris Bappeda, Imron, mewakili Kepala Bappeda Provinsi Jambi. Dalam sambutannya, Imron mengingatkan kembali sejarah lahirnya Program Hibah Compact MCC di Provinsi Jambi dan perkembangannya hingga saat ini. Setelah sekian lama menunggu, diharapkan ujicoba modul SGA ini menjadi salah satu entry point yang nyata bagi implementasi Program Hibah Compact di lapangan. Dewi Novirianti, Direktur SGA MCA-Indonesia menjelaskan tujuan dilaksanakannya diskusi ini untuk mendapatkan masukan dan mengetahui respon publik terhadap modul yang dikembangkan. Pengembangan rangkaian modul itu sendiri diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pengetahuan dan kesadaran pemerintah, organisasi independen dan swasta tentang berbagai isu sosial dan gender yang menjadi persyaratan Proyek Kemakmuran Hijau dalam Program Hibah Compact. Proyek Kemakmuran Hijau sendiri diwakili oleh Associate Director Participatory Land Use Planning (PLUP), Sigit Widodo, menerangkan Proyek Kemakmuran Hijau saat ini tengah berbenah dalam tatanan prosedur, regulasi dan sumber daya manusia untuk memenuhi target implementasi tahun 2014. 


Dalam paparan 12 Modul Pemberdayaan Gender pada implementasi Proyek Kemakmuran Hijau, peserta antusias menangkap setiap prosedur maupun panduan mengenai bagaimana isu gender itu diterapkan. Setiap langkah dalam implementasi Proyek Kemakmuran Hijau telah disisipkan isu gender untuk mengakomodasi isu strategis dan langkah antisipatif dalam mengatasi isu-isu tersebut. Salah satu isu umum yang mengemuka adalah permasalahan kesetaraan perempuan di tatanan masyarakat adat di desa-desa terpencil, yang telah terbentuk sekian lama dalam sebuah struktur sosial. Prinsip kehati-hatian proyek dalam menangani dan mengelola isu gender di tingkat tapak itu diharapkan juga menjadi sebuah langkah preventif dalam pemenuhan kriteria gender dan manfaat proyek itu sendiri untuk masyarakat. Terkait isu keterwakilan 30% perempuan dalam setiap pertemuan, banyak pihak mempertanyakan dasar, implementasi dan sanksi dalam pemenuhan target tersebut. Dewi menjelaskan bahwa angka 30% merupakan sebuah angka acuan yang menjadi dasar dalam evaluasi keberhasilan pemberdayaan perempuan dan kepastian perimbangan manfaat proyek. “Angka tersebut bukanlah angka mati yang harus dipenuhi” tambah Dewi. Hal yang lebih penting adalah proses untuk memulai keterlibatan perempuan dalam sebuah keputusan bersama dalam sebuah komunitas. 

Aspek sosial dan gender merupakan nilai tambah (value added) yang penting bagi Program Compact dan menjadi persyaratan yang bersifat mandatory, termasuk pada Proyek Kemakmuran Hijau. Salah satu kriteria dalam Proyek Kemakmuran Hijau yaitu akses yang setara bagi kelompok perempuan dan kelompok rentan terhadap manfaat proyek. Di Jambi sendiri, jumlah penduduk perempuan dan laki-laki hampir seimbang, namun sebagian besar penduduk perempuan berada pada usia produktif (15-64 tahun). Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 48% dan laki-laki sebesar 85%. Tingkat partisipasi sekolah perempuan rata-rata sedikit lebih tinggi daripada laki-laki, namun di tingkat universitas, presentasi perempuan lebih rendah. Dari informasi terakhir yang diperoleh, perempuan telah menempati jabatan struktural di pemerintahan pada level eselon dua. (LM/MA)

No comments:

Post a Comment